Drama ini bercerita pada masa pemerintahan Raja Gojong tahun 1884.
So Geun Gae adalah seorang tukang jakal berbakat.
Adat tradisional Chosun zaman dahulu, proses penjagalan hewan ternak merupakan upacara yang sangat suci dan harus dihormati oleh semua orang.
Beberapa warga desa melakukan sebuah ritual tradisional di rumah pemotongan hewan.
So Geun Gae membungkuk pada sapi untuk memberi hormat, kemudian memukul kepala sapi tersebut dengan sebuah palu kayu besar hingga sapi tersebut jatuh.
Ketika So Geun Gae hendak memotong sapi, pisau yang dipegang So Geun Gae terjatuh di tanah.
Beberapa saat kemudian, polisi datang dan membawa mereka keluar dari rumah pemotongan ternak.
"Tunjukkan tangan kalian!" seru Kepala Polisi, Jung Po Gyo. Ia memeriksa tangan para warga
"Kenapa Anda mencarinya, Tuan?" tanya tetua.
"Penjahat itu.. telah melakukan penjagalan sapi secara ilegal!" kata Po Gyo.
"Tuan, kami sudah mengusirnya sejak lama karena dia mempermalukan kami." kata tetua.
"Benar!" ujar So Geun Gae. "Kami tidak bisa mentorerir perbuatannya. Jangan cari dia di sini."
Po Gyo menendang So Geun Gae. Ia memerintahkan anak buahnya untuk memukuli para tukang jagal sampai mereka buka mulut.
"Tuan, ampuni kami! Tolong berhenti!" teriak So Geun Gae seraya memegangi kaki Po Gyo. "Tuan, bagi orang seperti kami penjagalan ilegal seperti sebuah pembunuhan. Si Enam Jari tidak menghormati hal ini dan memotong sapi secara ilegal. Bajingan seperti dia, seharusnya kami yang menggantungnya, bukan Anda! Jadi, bagaimana bisa Anda menuduh kami menyembunyikan dia?! Tolong... Ampunilah kami."
Po Gyo mempercayai kata-kata So Geun Gae dan mengajak anak buahnya untuk pergi.
So Geun Gae kembali ke rumah pemotongan ternak. Ia menunduk hendak mengambil pisau yang terjatuh, tapi tetua melarangnya. Pisau itu telah terkontaminasi. Ia kemudian mengambil selembar kain merah dan memungut pisau dari tanah.
Tetua melarang So Geun Gae untuk menyentuh pisau selama satu bulan sebagai hukuman karena telah menjatuhkan pisau ke tanah. "Kau harus belajar bersikap bijaksana."
"Tuan.." So Geun Gae hendak menjelaskan, namun tetua tidak ingin mendengar apapun darinya.
"Jika kau tidak mendengarkan kata-kataku ini, kau akan menerima akibatnya." kata tetua.
"Tapi jika aku tidak menyentuh pisau..." So Geun Gae mencoba protes.
"Orang lain akan menggantikanmu. Jangan berpikir untuk masuk ke tempat ini."
Karena dilarang melakukan pekerjaan memotong hewan ternak, So Geun Gae terpaksa melakukan pekerjaan yang lain agar bisa mendapatkan uang, yakni menjadi orang sewaan bangsawan sebagai pengganti mereka dihukum pukul oleh para polisi. Pekerjaan itu membuat tubuhnya terluka cukup parah. Namun So Geun Gae menahannya.
So Geun Gae memiliki seorang ibu yang sedang sakit. Ia berusaha mendapatkan uang agar bisa membelikan obat untuk ibunya itu.
"Dari mana kau mendapatkan uang untuk membeli obat ini setiap hari?" tanya ibu So Geun Gae.
"Aku bekerja untuk para bangsawan." kata So Geun Gae. Ia memberikan obat pada ibunya.
Ibunya meminum obat tersebut, namun kemudian batuk sehingga obat tumpah sedikit.
"Tidak... obat yang berharga..." Ibu So Geun Gae menjilati selimut yang terkena tumpahan obat.
"Tidak apa-apa, Ibu. Jangan lakukan itu." So Geun Gae berkata. "Masih banyak obat yang tersisa."
Tiba-tiba ayah So Geun Gae pulang dan langsung menarik So Geun Gae keluar dari rumah, memukulinya dengan sapu. "Bukankah tetua menyuruhmu bersikap bijaksana?!"
Ayah So Geun Gae menendang pantat So Geun Gae. "Siapa yang menyuruhmu menjual pantat agar mendapatkan uang? Apa kau pikir tetua akan memberimu pekerjaan jika mengetahui ini?"
Ibu So Geun Gae berusaha melindungi putranya. "Jangan pukul dia! Ini salahku! Dia melakukan itu agar bisa membelikan obat untukku!" Ibu melihat bagian belakang So Geun Gae yang berdarah dan menangis. "Aku pantas mati!" tangisnya. "Bagaimana aku bisa meminum obat itu? Aku pantas mati."
Ibu So Geun Gae batuk-batuk parah. So Geun Gae khawatir bukan main. "Ibu, apa kau baik-baik saja?"
Ayah So Geun Gae menatap dengan perasaan sedih. "Kenapa kau harus menjatuhkan pisau? Jika kau benar-benar ingin ibumu sembuh, kau harus lebih hati-hati. Besok aku akan memanggil dukun untuk menyembuhkan ibumu."
"Bagaimana ibu bisa sembuh dengan takhayul semacam itu?" protes So Geun Gae.
Ayah So Geun Gae tidak mau mendengar dan malah memarahi So Geun Gae.
So Geun Gae kesal dan berlari meninggalkan rumah.
So Geun Gae berjalan terseok-seok karena pantatnya terasa sangat sakit. Ketika ia berjalan di desa, ia bertemu dengan salah seorang temannya. Temannya itu berkata padanya bahwa tiga hari lagi akan ada perjamuan di rumah Tuan Yoo. Ia meminta tolong pada So Geun Gae agar membawakannya 20 buah daging sapi untuk acara perjamuan tersebut.
"Daging sapi itu harus dipotong sebesar telapak tangan." kata teman So Geun Gae. "Ketebalan daging harus selebar jari tangan."
"Masakan apa itu?" tanya So Geun Gae.
"Mereka menyebutnya apa ya? Su.. su... steak!"
"Su.. Su apa?" tanya So Geun Gae bingung.
"Aku tidak tahu. Itu adalah makanan untuk perjamuan ala barat. Semua orang asing akan datang. Pedagang, prajurit... bahkan dokter!
"Dokter?" So Geun Gae penasaran.
"Orang yang mempelajari ilmu kedokteran barat. Orang asing ini memotong kulit kemudian menjahitnya kembali!"
"Orang ini menggunakan pisau pada manusia?" tanya So Geun Gae heran. Pembedahan bukan merupakan hal yang biasa pada saat itu.
"Benar! Mereka bilang, itu bisa membuat orang yang mati menjadi hidup kembali! Mereka juga bilang bahwa dokter bisa menyembuhkan segala macam penyakit!"
Baek Do Yang adalah seorang pelajar. Ia sangat tertarik pada ilmu kedokteran barat.
Saat gurunya sedang mengajar, ia malah sibuk membaca sebuah buku kedokteran barat, buku yang dilarang pada zaman itu.
Gurunya memergoki Do Yang dan memanggilnya keluar.
"Bukankah kau tahu bahwa buku seperti ini dilarang dan ilegal?" tanya guru.
"Ini bukan buku inflamasi dan tidak akan menyebabkan perselisihan. Buku ini menjelaskan anatomi manusia." kata Do Yang.
"Kau berani menantangku?!" tanya guru. "Tidak ada gunanya bicara padamu. Aku akan bicara pada Menteri Kehakiman. Aku ingin tahu apakah ia akan senang mengetahui ini."
"Aku tidak yakin ayahku akan senang. Tapi aku lebih memilih untuk memberitahu ayah mengenai betapa hebatnya dirimu, Guru." Do Yang mencoba menyogok gurunya. "Kau seharunya berada di posisi yang lebih tinggi dari posisi sebagai guru. Aku akan bilang pada ayah bahwa ini sangat disayangkan."
"Yah, kurasa kau melihat buku ini hanya karena ingin tahu." ujar si guru termakan sogokan.
Baek Do Yang tersenyum menang.
So Geun Gae mengantar daging sapi ke rumah keluarga Yoo. Di
So Geun Gae merasa malu, namun ternyata gadis itu bukan melihatnya, tapi melihat orang dibelakang So Geun Gae.
"Seok Ran!" panggil Baek Do Yang dari belakang So Geun Gae. Ia berjalan mendekati si gadis.
"Kakak!" balas Seok Ran, tersenyum manis.
Mereka berdua masuk ke dalam rumah.
So Geun Gae masih terpesona pada kecantikan Seok Ran. Tiba-tiba seseorang menendangnya dari belakang. Orang itu adalah Yoon Je Wook, teman sekelas Baek Do Yang. "Beraninya kau berada di sini, orang rendahan!" hina Je Wook.
So Geun Gae masuk ke rumah keluarga Yoo untuk menyerahkan daging sapi yang ia bawa. Di dalam rumah tersebut, ia terkesan sekaligus heran melihat banyak sekali orang asing yang berdansa dan melakukan hal yang tidak biasa dikerjakan orang Chosun.
Nyonya Yoo menerima daging So Geun Gae dan memberikannya pada salah seorang koki bule. Koki tersebut memasak daging diatas wajan tanpa menggunakan minyak. Mereka menyebut masakan tersebut steak.
Baek Do Yang meminta tolong pada Tuan Yoo agar memberikannya buku lagi seperti yang kemarin pernah diberikan karena buku tersebut diambil oleh gurunya.
Tuan Yoo kemudian memanggil Seok Ran agar gadis itu mengantar Do Yang mengambil buku yang dimintanya.
Di tengah-tengah acara, Je Wook tiba-tiba pingsan. Tuan Yoo panik dan memanggil seorang pria bernama Watanabe. Watanabe merupakan seorang dokter terkenal dari Jepang.
So Geun Gae mengamati baik-baik apa yang dilakukan Watanabe.
Watanabe mengeluarkan sebuah suntikan dan menyuntik Je Wook. Setelah itu, Watanabe menyiram kepala Je Wook dengan alkohol agar steril, lalu menjahit sobekan di kepala Je Wook.
"Apa kau tidak membiusnya?" tanya Tuan Yoo.
"Aku tidak bisa membiusnya karena dia mabuk." kata Watanabe. "Itu bisa menyebabkan dia mati."
Do Yang dan Seok Ran datang berlari ketika mendengar bahwa Je Wook pingsan.
"Apa yang terjadi?" tanya Do Yang.
"Dia bertanding minum dengan salah satu orang asing." jawab Tuan Yoo. "Dokter Watanabe ini adalah dokter dari rumah sakit Kerajaan Jepang."
Do Yang memandang Watanabe. "Apakah Anda adalah dokter yang dikenal sebagai hipokrat Jepang?"
"Kau membuatku malu!" ujar Watanabe bangga.
Do Yang tersenyum senang. "Sungguh kehormatan bagiku bertemu denganmu."
So Geun Gae masih terkesan dan memikirkan apa yang telah dilakukan Watanabe untuk mengobati Je Wook. Ketika ia sedang berbincang dengan ibunya, terdengar suara dari luar.
Ayah So Geun Gae telah membawa seorang dukun untuk mengusir roh jahat yang menghantui rumah itu dan membuat istrinya sakit.
So Geun Gae kesal sekali. Ia mencoba mengusir si dukun, namun ayahnya tetap berkeras dan mengambil uang tabungan mereka untuk membayar dukun tersebut.
"Meow..Meow.." Sebuah sandi terdengar. Sandi yang biasa digunakan Jak Dae, teman So Geun Gae, untuk memanggilnya. Ia mengajak So Geun Gae menemui seseorang.
"Enam Jari, kau!" So Geun Gae menerjang marah ke arah Enam Jari. "Apa kau tahu kalau warga desa dipukuli karena kau?! Kau pikir dengan berpakaian seperti itu maka kau adalah seorang bangsawan?"
"Jika aku berpakaian seperti ini, semua orang menghormati aku!"
"Sampai kapan kau akan bersembunyi dibalik pakaian itu?" tanya So Geun Gae. "Bagaimana dengan jarimu? Bagaimana kau akan menyembunyikan jarimu?"
Enam Jari membuka balutan perban di tangan kirinya untuk memperlihatkan kalau jarinya kini normal. Ia bukan lagi si Enam Jari.
So Geun Gae sangat terkejut melihat hal itu.
Enam Jari memutuskan ia akan pergi sejauh mungkin dari
So Geun Gae berjalan pergi, teringat masa kecilnya. Dulu ia sering dihina oleh anak-anak sebayanya, dan orang yang sering menolongnya adalah si Enam Jari.
Watanabe menunjukkan awetan jari tangan pasien yang telah dioperasinya pada Do Yang. "Dia memiliki enam jari dan aku memotong satu jarinya." kata Watanabe.
Do Yang berdecak kagum.
Watanabe tertawa. Ia menjelaskan bahwa ilmu kedokteran barat berbeda dengan ilmu kedokteran timur. "Ilmu kedokteran timur menekankan pada pengalaman, sedangkan ilmu kedokteran barat berfokus pada anatomy."
Watanabe mengajak Do Yang untuk melihat sebuah jenazah. "Jenazah ini digunakan untuk ilmu pengetahuan. Di barat, kau harus membedah 3 jenazah agar bisa mendapatkan lisensi medis."
"Tiga jenazah?"
"Benar." kata Watanabe. "Sama dengan di Jepang. Kau harus mempelajari anatomi manusia sehingga kau akan mengetahui lokasi dan fungsi masing-masing organ. Hanya dengan begitu kau akan bisa mengerti bagaimana cara mengobati."
Keesokkan harinya, Jak Dae mengatakan bahwa Enam Jari menghilang tiba-tiba dengan membawa uangnya.
So Geun Gae tahu ini akan terjadi, dengan acuh ia berjalan pulang ke rumah.
"Ibu!" panggil So Geun Gae, mencari ibunya di kamar, namun tidak menemukannya. Ia kemudian mencari di dapur dan melihat ibunya pingsan. Dengan panik, So Geun Gae mengambil simpanan uang rahasianya dan menggendong ibunya menuju Kedutaan Jepang. Jak Dae menemaninya.
"Dokter, tolong selamatkan ibuku!" ujar So Geun Gae, memohon pada Watanabe.
Watanabe, dibantu oleh seorang suster, memeriksa ibu So Geun Gae.
"Paru-parunya dipenuhi dengan nanah." kata Watanabe. "Suzuki-san, tolong siapkan jarum suntik."
Suster yang bernama Suzuki itu ragu sejenak, kemudian bicara dengan bahasa Jepang. "Kurasa orang-orang ini adalah tukang jagal. Aku tidak yakin mereka bisa membayar biaya perawatan."
Watanabe berbisik pada Suzuki, "Tidak akan terlihat baik bagi Pemerintah Jepang jika kita mengusir mereka sekarang. Kita akan merawatnya terlebih dahulu, baru kemudian menendang mereka keluar."
"Baik, Dokter."
Watanabe menyuntik bagian punggung ibu So Geun Gae dan mengeluarkan nanah dari dalam paru-parunya. Nanah yang keluar dialirkan melalui pipa.
"Apakah ibuku sudah sembuh?" tanya So Geun Gae ketika Watanabe sudah selesai mengeluarkan nanah.
"Dia terkena Pleuritis (a.k.a radang selaput paru-paru)." kata Watanabe. "Besok dia akan mati jika tidak diobati. Tapi jika dia dirawat di sini, dia akan hidup."
So Geun Gae bersujud di hadapan Watanabe. "Tolong sembuhkan ibuku."
Watanabe memberi isyarat pada Suzuki agar mengurus So Geun Gae. "Biaya menginap di rumah sakit ini adalah 10 Yang per hari ditambah dengan biaya pengobatan."
"Jadi berapa totalnya?" tanya Jak Dae.
Suzuki berpikir sejenak. "Mungkin lebih dari 100 Yang."
Jak Dae terkejut. Itu jumlah uang yang sangat banyak.
Diam-diam, ibu So Geun Gae mendengar pembicaraan mereka.
So Geun Gae mengeluarkan sejumlah uang dari dalam bajunya. "Baru ini yang kupunya."
Suzuki menerima uang So Geun Gae dan menghitungnya. "Ini bahkan tidak cukup untuk hari ini. Kau harus segera pergi jika tidak bisa membayar."
"Aku akan segera membayar sisanya." kata So Geun Gae.
Suzuki mengangguk. "Kau harus membayar sebelum besok siang."
So Geun Gae berusaha mencari uang yang dibutuhkannya. Ia berlari ke desa dan bertemu dengan sekelompok orang.
"Kudengar kau tidak punya pekerjaan akhir-akhir ini?" tanya pemimpin mereka. "Bagaimana jika bekerja dengan kami? Kami butuh tukang jagal."
So Geun Gae mencoba berjalan pergi, namun mereka menutupi jalannya. "Biarkan aku lewat." katanya.
"Pikirkan baik-baik. Berapa uang yang kau dapatkan dengan memotong 100 sapi?"
So Geun Gae menatap pria dihadapannya. "Aku tidak melakukan pekerjaan ilegal."
So Geun Gae menemui seorang pedagang daging dan ingin meminjam uang 100 Yang. Namun si pedagang bilang ia tidak memiliki uang sebanyak itu.
"Jika kau ingin mendapatkan uang dengan cepat, lakukan pekerjaan ilegal." sarannya. Ia kemudian menyerahkan sedikit uang pada So Geun Gae.
So Geun Gae menatap uang ditangannya dengan sedih, kemudian kembali ke Kedutaan Jepang. Di
"Dia bersikeras ingin pergi." kata Jak Dae.
"Aku tidak apa-apa." kata ibu So Geun Gae. "Sekarang aku merasa lebih baik. Ayo kita pulang."
Mulanya So Geun Gae menolak, namun ibunya tetap bersikeras pergi, dan ia terpaksa menyetujui permintaan ibunya itu.
So Geun Gae menggendong ibunya di punggung, berjalan pulang.
"Apa ibu kedinginan?" tanyanya cemas.
"Tidak." jawab ibunya lemah. "Ayahmu pasti kelaparan. Aku harus memasakkan makanan untuknya."
"Jangan cemaskan ayah." So Geun Gae berkata sedih.
"Aku harus membelikan ayahmu baju hangat sebelum musim dingin tiba." kata ibunya, terdengar seperti sulit bernapas. "Aku juga ingin melihatmu menikah."
Tiba-tiba ibu So Geun Gae batuk-batuk parah dan mengeluarkan darah dari mulutnya.
"Ibu, apa kau baik-baik saja?" tanya So Geun Gae.
"So Geun Gae, batuk ibumu mengeluarkan darah!" teriak Jak Dae panik.
Tanpa berpikir lagi, So Geun Gae bergegas berlari kembali ke Kedutaan Jepang.
Suzuki melarang mereka masuk. "Kalian tidak boleh masuk!" serunya.
"Aku akan mendapatkan uang! Aku berjanji!" kata So
So Geun Gae berlari secepatnya menuju ke suatu tempat. Di dekat gerbang
So Geun Gae menemui orang-orang yang tadi menawarkan pekerjaan sebagai tukang jagal ilegal.
"Aku akan melakukannya." kata So Geun Gae tanpa ragu. "Berapa kau akan membayarku?"
Orang-orang itu tertawa, berpikir bahwa So Geun Gae mempermainkan mereka.
"100 Yang." kata So Geun Gae serius. "Aku butuh 100 Yang."
So Geun Gae dan rombongan membawa seekor sapi ke tengah hutan untuk dipotong.
Pertarungan batin dialami So Geun Gae. Di satu sisi, ia butuh uang 100 Yang dengan cepat. Namun di sisi lain, ia harus melawan hati nuraninya dengan melakukan pekerjaan ilegal.
"Sapi sebenarnya adalah pangeran dari surga." Ia teringat ibunya pernah bercerita ketika ia masih kecil. "Karena melakukan kesalahan, maka Raja Surga mengubah mereka menjadi sapi. Setelah menebus kesalahannya, maka para pangeran itu akan kembali ke surga." "Bagaimana cara mereka kembali?" tanya So Geun Gae kecil. "Saat tukang jagal mengambil nyawa mereka, roh mereka terbang ke surga. Dan karena para tukang jagal melakukan tugas mulia ini, maka roh mereka juga akan ke surga jika sudah mati." "Jadi kita bisa ke surga?" tanya So Geun Gae polos. "Tentu saja. Karena itu, kau harus mengikuti aturan tukang jagal."
Di pihak lain, para polisi sedang berjalan ke hutan yang sama untuk menangkap para pelaku pemotongan ilegal.
So Geun Gae memotong sapi dengan ahli dan cekatan.
"Keahliannya sungguh luar biasa." kata si pemimpin, memainkan kantung berisi uang bayaran So Geun Gae. "Kita harus menjaganya."
"TANGKAP MEREKA!" terdengar suara seorang polisi.
Si pemimpin menjatuhkan kantung uangnya karena panik.
So Geun Gae mengambil kantung uang tersebut dan mencoba melarikan diri dari para polisi. So Geun Gae mencoba melawan ketika akan ditangkap sehingga para polisi terpaksa memukulnya hingga pingsan.
Po Gyo masih ingat dengan wajah So Geun Gae. "Jadi kau adalah salah satu mereka? Seharusnya aku sudah menyadarinya dari ucapanmu waktu itu." gumamnya.
Ia kemudian memerintahkan anak buahnya agar membawa semua orang yang ditangkap itu ke kantor polisi kecuali So Geun Gae.
Ketika So Geun Gae sadar, ia sudah berada di sebuah gubuk kecil di tengah hutan. Di dalam gubuk itu sudah tersedia berbagai macam pisau dan gunting.
Jung Po Gyo ada di sampingnya. Masih ada satu pria lagi yang bersembunyi di balik tirai bambu. Pria tersebut tidak lain adalah Bae Do Yang.
"Jika kau mau melakukan apa yang kuperintahkan, maka aku akan mengampuni nyawamu." kata Do Yang. "Yang perlu kau lakukan hanyalah menunjukkan kemampuanmu sebagai tukang jagal. Setelah itu, aku akan membebaskanmu."
"Aku akan melakukannya." ujar So Geun Gae.
Do Yang memberi isyarat pada Po Gyo untuk membuka sesuatu yang mulanya ditutupi dengan penutup jerami. Di
So Geun Gae melihat mayat itu dengan kaget. Tangan kanan jenazah tersebut dibalut oleh perban.
"Enam... Enam Jari...?" gumam So Geun Gae pelan.
"Kau harus membedah mayat itu." kata Do Yang memerintahkan. "Ambil pisau yang ada di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar